TEORI WACANA DALAM TRADISI FILSAFAT


 

  • Pendahuluan

Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Meskipun ada gradasi yang besardari berbagai definisi, titik singgungnya adalah analisis wacanaa berhubungan dengan studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa. Dalam menganalisis wacana, ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam melakukan analisis wacana. Slembrouck membukukan sekitar 8 pendekatan analisis wacana termasuk di antaranya filsafat analitis, post-strukturalis, semiotik, cultural studies, teori-teori sosial. Bagaimana bahasa teori  wacana dipandang dari filsafat? Disini ada beberapa perbedaan pandangan.

Sebenarnya, teori wacana dalam tradisi filsafat sudah sangat tua. Aristoteles pernah membahasnya secara teliti dalam karyanya De Interpretatione Kleden dalam Sobur (2009: 34). Teori wacana menjadi actual lagi dalam diskusi filsafat kontemporer dengan munculnya strukturalisme yang berpendapat bahwa arti bahasa tidak bergantung dari maksud pembicara ataupun dari referensinya pada kenyataan tertentu; arti bergantung pada struktur bahasa itu sendiri.

Analisis wacana adalah ilmu baru yang muncul beberapa puluh tahun belakangan ini. Aliran-aliran linguistik selama ini membatasi penganalisisannya hanya kepada soal kalimat dan barulah belakangan ini sebagian ahli bahasa memalingkan perhatiannya kepada penganalisisan wacana (Lubis, 1993:12). Ungkapan seperti itu didukung oleh kenyataan bahwa pada mulanya pembahasan wacana itu dilakukan oleh para ahli sosiologi, antropologi, serta filsafat, bukan oleh ahli bahasa. Coulthard (1978), seperti dikutip Syamsuddin, mengemukakkan:

“…the serious study of spoken discourse is only just beginning and currently much of the work is being undertaken not by linguist but by sociologist, anthropologist, and philosophers”.

 

Oleh karena itu dapat dimaklumi jika hingga sekarang pembahasan dan rujukan tentang wacana dan analisisnya masih jarang, lebih-lebih dalam bahasa Indonesia.

 

 

  • Fokus Makalah

Fokus pada penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1.Bagaimana teori wacana digambarkan dalam tradisi filsafat?

2.Bagaimana sejarah berkembangnya analisis wacana di ranah linguistik?

3.Bagaimana perbedaan antara analis wacana dan analisis wacana kritis (pendekatan dan tokoh/filsuf)?

 

  • Pembahasan

1.3.1 Teori Wacana digambarkan dalam Tradisi Filsafat

Analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi. Lebih tepatnya lagi, analisis wacana adalah telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa. Kita menggunakan bahasa dalam kesinambungan atau untaian wacana. Tanpa konteks, tanpa hubungan-hubungan wacana yang besifat antarkalimat dan suprakalima maka kita sukar berkomunikasi dengan tepat satu sama lain (Tarigan, 1993:24). Analisis wacana lahir dari kesadaran bahwa persoalan yang tedapat dalam komunikasi bukan terbatas pada penggunaan kalimat atau bagian kalimat, fungsi ucapan, tetapi juga mencakup struktur pesan yang lebih kompkes dan inheren yang disebut wacana (Littlejohn, 1996:84). Dalam upaya menganalisis unit bahasa yang lebih besar dari kalimat tersebut, analisis wacana tidak terlepas dari pemakaian kaidah berbagai cabang ilmu bahasa, seperti halnya semantik, sintaksis, morfologi, dan fonologi.

Dalam pandangan Littlejohn, meski menulis dan bahkan bentuk-bentuk nonverbal dapat dianggap wacana, kebanyakan analisis wacana berkonsentrasi pada percakapan yang muncul secara wajar. Menurutnya, terdapat beberapa untai analisis wacana, bersama-sama menggunakan seperangkat perhatian (Littlejohn, 1996:84-85). Pertama, seluruhnya mengenai cara-cara wacana disusun, prinsip yang digunakan oleh komunikator untuk menghasilkan dan memahami percakapan atau tipe-tipe pesan lainnya. Ahli analisis wacana melihat pada pembicaraan nyata dan bentuk-bentuk nonverbal seperti mendengar dan melihat, dan mereka melakukan studi makna dari bentuk-bentuk yang teramati di dalam konteks. Beberapa teori melihat bagaimana pesan tunggal terstruktur untuk membuat pernyataan koheren. Teori yang lainnya melihat pola bercakap-cakap di antara orang-orang dalam suatu percakapan.

Kedua, wacana dipandang sebagai aksi; ia adalah cara melakukan segala hal, biasanya dengan kata-kata. Ahli analisis wacana berasumsi bahwa pengguna bahasa mengetahui bukan hanya aturan-aturan tata bahasa kalimat, namun juga aturan-aturan untuk menggunakan unit-unit yang lebih besar dalam menyelesaikan tujuan-tujuan pragmatic dalam situasi sosial. Bahasa digunakan dengan suatu strategi guna mencapai tujuan yang diinginkan seperti membuat suatu permohonan, mendapat giliran, bersikap sopan, atau memperoleh kerjasama. Ahli analisis wacana tertarik dalam hal bagaimana sesungguhnya cara pembicaraan menyusun pesan-pesan mereka untuk menyelesaikan hal-hal tersebut. Menurut Littlejohn, “Discourse analysis does not treat organization as an end in itself, but aims to uncover its functions,” analisis wanaca tidak memperlakukan penyusunan sebagai suatu tujuan itu sendiri, namun bertujuan menemukan fungsi-fungsinya.

Ketiga, analisis wacana adalah suatu pencarian prinsip-prinsip yang digunakan oleh komunikator actual dari perspektif mereka; ia tidak mempedulikan cirri/sifat psikologis terembunyi atau fungsi otak, namun terhadap problema percakapan sehari-hari yang kita kelola dan kita pecahkan. Contohnya, kita menggunakan kalimat-kalimat untuk membuat pernyataan-pernyataan koheren sehingga orang lain dapat mengerti, dan kita menanggapi pesan-pesan dari orang lain dengan cara-cara yang kelihatan logis dan alami serta tidak mengacaukan arus percakapan.

1.3.2 Sejarah Berkembangnya Analisis Wacana di Ranah Linguistik

Analisis wacana terutama menyerap sumbangan dari studi linguistik-studi untuk menganalisis bahasa seperti pada aspek leksikal, gramatikal, sintaksis, semantik, dan sebagainya. Hanya berbeda dengan analisis linguistik, analisis wacana tidak berhenti pada aspek tekstual, tetapi juga konteks dan proses produksi dan konsumsi dari suatu teks. Wacana-merujuk kepada pemakaian bahasa tertulis dan ucapan-tidak hanya dari aspek kebahasaannya saja, tetapi juga bagaimana bahasa itu diproduksi dan ideologi di baliknya. Memandang bahasa semacam ini berarti meletakkan bahasa sebagai bentuk praktik sosial.

Dalam  ranah  lingusitik,  wacana    dipahami  sebagai    unit  kebahasaan  yang  lebih  besar daripada kata atau kalimat,   yang dapat melibatkan satu atau lebih orang. Jadi sebuah pidato, dialog, polemik, perdebatan, percakapan atau perbincangan dapat dikategorisasikan sebagai sebuah wacana. Crystal dan Cook dalam Nunan6 mendefinisikan wacana sebagai unit bahasa  lebih  besar  daripada  kalimat,  sering  berupa  satuan  yang  runtut/koheren  dan memiliki tujuan dan konteks tertentu, seperti ceramah agama, argumen, lelucon atau cerita. Nunan  melihat  unsur-unsur  keruntutan  dan  koherensi  sebagai  hal  yang  penting  untuk menilai sebuah wacana.   Sementara Lubis7     mendefinisikan wacana sebagai ‘kumpulan pernyataan-pernyataan yang ditulis atau diucapkan atau dikomunikasikan dengan menggunakan tanda-tanda.

 

 

Berkembangnya studi wacana atau analisis wacana dalam ranah linguistik ini merupakan bentuk ketidakpuasan terhadap mazhab linguistik formal struktural yang cenderung lebih terpaku pada sistem kebahasaan terhadap unit mikro seperti imbuhan, kata, frasa, klausa dan kalimat, dan kurang peduli terhadap penggunan bahasa (language use). Padahal makna sering  tidak  bisa  dipahami  secara  komprehensif  dalam  kata,  klausa  atau  kalimat  yang terpilah dari konteksnya. Makna sering harus dilihat dalam unit yang lebih besar dan luas seperti percakapan, dan harus mempertimbangkan konteks. Analisis Wacana (Discourse Analysis) jenis ini   dikembangkan oleh John Sinclair, Martin Montgomery, Michael Hoey. Sinclair, misalnya tertarik untuk meneliti struktur wacana dalam kelas, pada khususnya level dari fungsi ujaran  dalam situasi sosial tertentu. Ia menemukan bahwa inteaksi antara guru- murid di dalam kelas bisa berupa transaksi-transaksi, inisasi, respon, konfirmasi dsb.

 

  • Tokoh/Filsuf yang Mendukung Berkembangnya Analisis Wacana

Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Meskipun ada gradasi yang besardari berbagai definisi, titik singgungnya adalah analisis wacanaa berhubungan dengan studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa. Bagaimana bahasa dipandang dalam analisis wacana? Disini ada beberapa perbedaan pandangan. Mohammad A. S. Hikam dalam suatu tulisannya telah membahas dengan baik perbedaan paradigma analisis wacanaa dalam melihat bahasa ini yang akan diringkas sebagai berikut.

Paling tidak ada tiga pandangan mengeneai bahasa dalam analisis wacanaa. Pandangan pertama diwakili oleh kaum positivme-empiris. Oleh kaum ini , bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek diluar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakaipenyataan-pernyataan yang logis, sintaksis, dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu cirri daripemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacanaa, konsekuensi logis dari pemahaman ini orangtidak perlu mengetahui makna-makna subjektif ataunilaiyangmendasari pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Oleh karena itu tata bahasa, kebenaran sintaksis adalah bidang utama dari aliran positivme-empiristentang wacanaa. Analisis wacanaa dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacanaa lantas diukur dengan pertimbangan kebenaran/ketidakbenaran (menurut sintaksis dan semantik).

Pandangan kedua, disebut sebagai konstruktivisme. Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi. Aliran ini menolak pandangan empirisme/positivisme yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacanaa serta hubungan-hubungan sosialnya. Dalam hal ini, seperti dikatakan A.S. Hikam, subjek memiliki kemampuan-kemampuan melakukan control terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacanaa. Bahasa dipahami dalam paradigm ini diatur dan dihidupkan oleh pernyatan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri dari sang pembicara. Oleh karena itu, analisis wacanaa dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membonhgkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Wacanaa adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan itu dilakukan diantaranya dengan memnempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara.

Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini ingin mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitive pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Seperti ditulis A.S. Hikam, pandangan konstruktivisme masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacanaa, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya. Hal inilah yang melahirkan paradigm kritis. Analisis wacanaa tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivisme. Analisis wacanaa dalam paradigm ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. bahasa disini tidak difahami sebagai medium netral yang terletak diluar diri si pembicara. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi didalamnya. Oleh karena itu, analisis wacanaa dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacanaa, perspektif yang merti dipakai, topic apa yang dibicarakan. Dengan pandangan semacam ini, wacanaa melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. karena memakai perpektif kritis, analisis wacanaa kategori ketiga itu juga disebut sebagai analisis wacanaa kritis (Critical Discourse Analysis/CDA). Ini untuk membedakan dengan analisis wacanaa dalam kategori yang pertama atau kedua (Discourse Analysis).

 

Tokoh/Filsuf yang mendukung berkembangnya analisis wacana  diantaranya adalah sebagai berikut :

  • Wacana Tulis
  1. Plato

Persoalan tulisan sebenarnya sudah sibicarakan oleh para ilmuwan sejak dahulu kala. Sebagai ilustrasi, menarik untuk diketahui bahwa Plato tampaknya tidak menyetujui adanya tulisan, tetapi ironisnya Plato sendiri melahirkan cukup bayak tulisan. Penolakannya terhadap tulisan berangkat dari pemikiran tentang adanya hubungan antara jiwa dengan pengetahuan yang pada gilirannya akan melibatkan tulisan. Ia mengkaji mite yang menceritakan kisah raja Mesir yang menerima kedatangan Dewa Toth, yitu dewa yang memperkenalkan pengetahuan pada manusia, misalnya bilangan, geometri, astronomi, dan ia pula yang memperkenalkan grammata, yaitu karakter tulisan. Toth menganggap bahwa pengetahuan grammata dapat menjadikan orang Mesir lebih bijaksana dan lebih mampu untuk mengingat sesuatu. Tetapi Raja Mesir menolak kalau rakyatnya diajari menulis, karena tulisan dianggap dapat memperlemah kemampuan jiwa untuk mengingat. Jadi, di dalam pandangan Plato ini tersimpan kekhawatiran legosentris. Kekhawatiran ini muncul bersama asumsi adanya sumber pengetahuan yang otentik, murni, benar, serta ada cara untuk menyampaikan kebenaran itu. Melalui tulisan, penyampaian logos dapat dilakukan oleh siapa pun, bahkan juga oleh mereka yang tidak mempunyai wewenang.

  1. Socrates

Kesan yang sama dapat kita temukan pada Socrates. Pandangan Socrates dalam hal tulisan tidak lebih menarik daripada Plato (Kleden-Probonegoro, 1998). Bagi Socrates, tulisan seperti halnya lukisan yang menggeneralisasikn makhluk hidup menjadi makhluk-makhluk yang tidak hidup, karena mereka akan diam kalau kita Tanya. Demikian pula halnya dengan tulisan, yang tetap diam meskipun kita ingin mengetahui sesuatu yang tertulis itu. Aristoteles menganggap bahwa tulisan mempunyai status yang kurang penting, karena secara umum tulisan dalah jiplakan dari bahasa. Ia menganggap bicara adalah simbol jiwa dan tulisan adalah ciri simbol dari simbol dalam bicara. Baginya, kata-kata dalam ucapan lebih dianggap penting daripada tulisan, karena suara manusia mempunyai hubungan yang langsung dengan pikiran. Dengan demikian tulisan dianggap menjadi sesuatu yang kurang penting.

Pernyataan atau penjelasan di atas memperlihatkan adanya kecenderungan logosentris, yaitu gerakan yang berpusat pada pemikiran yang mendukung fonosentris yang menganggap pentingnya suara. Derrida (1984, dalam Kledon-Probonegoro, 1998) adalah orang yang boleh dianggap mempunyai andil yang cukup besar, yang menganggap bahwa tulisan itu penting. Baginya, tulisan bukan cuma sekadar “litteral pictographic” atau sekadar inskripsi yang bersifat ideografik saja, tetapi tulisan dapat merupakan suatu totalitas termasuk kemampuannya untuk melampaui apa yang hanya bisa ditunjuk secara fisik. Misalnya, orang dapat mengetahui dan merasakan kehidupan di padang rumput Amerika melalui tulisan Laura Ingals Wilder, tanpa ia sendiri harus tinggal di padang-padang rumput itu. Apa yang terjadi sekarang adalah, tulisan telah menjadi apa yang oleh Derrida sebut sebagai cybernetic program yang mencakup konsep jiwa, konsep hidup, nilai, pilihan, dan memori. Kini, tulisan telah mempunyai ciri historis metafisiknya yang berbeda dari masa fono-logosentris, dan orang dapat langsung membawakan pikirannya ke dalam bentuk tulisan tanpa melalui bahasa lisan.

  1. Ricoeur (1976)

Dalam pandangan Ricoeur, wacana tulis lebih dari sekadar fiksasi yang material sifatnya. Filsuf Prancis ini member contoh menarik. Melalui tulisan, tercipta kemungkinan penerusan tata aturan ke ruang dan waktu yang berbeda tanpa distorsi yang berarti. Ini meniptakan peluang bagi sebuah negara untuk melaksanaan penataan politis jarak jauh yang pada gilirannya memungkinkan lahirnya negara-negara jajahan. Dari fiksasi pelbagai aturan juga dapat tercipta hubungan-hubungan pasar yang kemudian melahirkan ekonomi. Sejarah lahir dari adanya arsip. Sementara fiksasi hokum untuk standar pengambilan keputusan yang bebas dari pendapat subjektif hakim memungkinkan lahirnya lembaga hokum dengan kode-kodenya. Dampak yang begitu luas mnunjukkan bahwa wacana manusia bukan hanya terselamatkan dari kelenyapan dan keterlupaan dengan cara menuangkannya ke dalam bentuk teks tertulis, tetapi bahwa kemanusiaan itu sendiri terpengaruh dan tertransformasikan secara mendalam bahkan sampai ke tahap eksistensial. Transformasi eksistensial ini menjadi mungkin karena kebebasan yang dimiliki pembaca ketika ia membaca sebuah teks tulisan.

  1. Roland Barthes

Apa yang dimaksud teks itu? Bagi Barthes, teks adalah sebuah objek kenikmatan, sebagaimanadiproklamasikannya dalam buku Sadel Fourier/Loyola: “The text is an object of pleasure. (Teks adalah objek kenikmatan)” (Culler, 1983, dalam Kurniawan, 2001:101). Sbuah kenikmatan dalam pembacaan sebuah teks adalah kesenangan kala menyusuri halaman demi halaman objek yang dibaca. Sebentuk keasyikan tercipta yang hanya dirasakan oleh si pembaca sendiri. Kenikmatan pembacaan itu bersifat individual. Kita tak akan bisa merasakan betapa asyiknya seseorang ketika membaca sampai tidak memperhatikan lagi apa yang ada di sekelilingnya bila kita sendiri tidak mencoba merasakan itu dengan turut membaca tulisan yang sama. Kenikmatan yang individual itu seakan-akan membangun sebuah dunia pembaca itu sendiri, yang dia secara bebas mengimajinasikannya (Kurniawan, 2001:202). Imajinasi itu sendiri merupakan suatu daya yang muncul dari dalam diri manusia, yang antara lain, memiliki cirri personal (Tedjoworo, 2001:59).

5.Ricoeur

Ricoeur mengajukan suatu definisi yang mengatakan bahwa teks adalah wacana (berarti lisan) yang difiksasikan ke dalam bentuk tulisan (Kleden-Probonegoro, 1998:119). Dengan demikian jelas bahwa teks adalah “fiksasi atau pelembagaan suatu peristiwa wacana lisan dalam bentuk tulisan” (Hidayat, 1996:129-130). Dalam definisi tersebut secara implisit sebenarnya telah diperlihatkan adanya hubungan antara tulisan dengan teks. Apabila tulisan adalah bahasa lisan yang difiksasikan (ke dalm bentuk tulisan), maka teks adalah wacana (lisan) yang difiksasikan kedalam bentuk teks.

Teks juga bisa kita artikan sebagai “seperangkat tanda yang ditransmisikan dari seorang pengirim kepada seorang penerima melalui medium tertentu dan dengan kode-kode tertentu” (Budiman, 1999b:115-116). Pihak penerima yang menerima tanda-tanda tersebut sebagai teks segera mencoba menafsirkannya berdasarkan kode-kode yang tepat dan telah tersedia. Dalam upaya mendekati tuturan kesastraan (literary ulterance) sebagai teks, kita dapat memperlakukan tuturan tersebut sebagai sesuatu yang terbuka bagi interpretasi, walaupun tetap dikaitkan dengan norma-norma generic tertentu. Sementara itu, teks pun kadang kala secara sengaja dipertentangkan dengan karya (work). Dalam hal ini sebuah karya dianggap berkebalikan dengan sifat-sifatnya yang menyederhanakan suatu entitas, tertutup, dan mencukupi diri sendiri. Walaupun demikian, pembedaan antara teks dan karya ini bukanlah sesuatu yang kaku, melainkan sekadar soal penekanan dan nuansa.

  1. Guy Cook

Sebetulnya, antara teks, konteks, dan wacana merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Guy Cook, misalnya, menyebut ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana: teks, konteks, dan wacana. Cook mengartikan teks sebagai semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua bentuk ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek, suara, citra, dan sebagainya. Konteks memasukan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Wacana di sini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama. Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Di sini, dibutuhkan tidak hanya proses kognisi dalam arti umum, tetapi juga gambaran spesifik dari budaya yang dibawa. Studi mengenai bahasa di sini, memasukkan konteks, karena bahasa selalu ada dalam konteks, dan tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipan, interteks, situasi, dan sebagainya (Eriyanto, 2001:9).

  1. Ann N. Crigler

Jika itu merujuk pada pendapat Ann N. Crigler, analisis wacana termasuk dalam pendekatan konsturksionis. Menurut Crigler (1996:7-9), setidaknya ada dua karakteristik penting dari pendekatan konstruksionis. Pertama, pendekatan konstruksionis menekankan pada politik penekanan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas politik. Kata makna itu sendiri menunjuk kepada sesuatu yang diharapkan untuk ditampilkan, khususnya melalui bahasa. Makna bukanlah sesuatu yang absolut, konsep statik yang ditemukan dalam suatu pesan. Makna adalah suatu proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu pesan. Kedua, pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang terus-menerus dan dinamis. Pendekatan konstruksionis tidak melihat media sebagai faktor penting, karena media sendiri itu bukanlah sesuatu yang netral. Perhatian justru lebih ditekankan pada sumber dan khalayak. Dari sisi sumber (komunikator), pendekatan konstruksionis memeriksa pembentukan bagaimana pesan ditampilkan, dan dalam sisi penerima ia memberikan bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima pesan.

1.4.4 Analisis Wacana

Tokoh analisis wacana adalah Sinclair dan Coulthard (1979). Mereka meneliti wacana yang dibentuk dalam interaksi guru dan murid di kelas. Mereka merekam sejumlah peristiwa belajar-mengajar di sekolah dasar di Inggris. Menurut Coulthard (1997) analisis wacana dimulai oleh ide Firth yang mengungkap tentang linguistik kontekstual bahwa bahasa baru bermakna apabila berada dalam suatu konteks. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Brown dan Yule (1983:27-67) yang menyatakan bahwa dalam menginterpretasi makna sebuah ujaran perlu memperhatikan konteks, karena kontekslah yang akan memaknai ujaran.

 

1.4.4 Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana kritis adalah pendekatan yang relative baru dari sistematika pengetahuan yang timbul dari tradisi teori sosial dan analisis linguistik yang kritis. Hal ini dikemukakan oleh Barker dan Galasinski 2001; Fairclough 1995; Gavey 1997; Gray 1999, dan Hardy 2002; Philips dan Jorgensen 2002; Titscher, Meyer, Wodak dan Vetter 2000; Wodak dan Meyer 2001; Wood dan Kroger 2000. AWK mengkaji tentang upaya kekuatan sosial, pelecehan, dominasi, dan ketimpangan yang direproduksi dan dipertahankan melalui teks yang pembahasannya dihubungkan dengan konteks sosial dan politik AWK mungkin dilakukan dengan cara berbeda, tetapi sama semua variasi prosedur mempunyai beberapa tujuan dan asumsi. Penerapan beberapa disiplin sejauh ini seudah mencegah perspektif tunggal tetapi perspektif seperti itu mungkin tidak perlu, AWK berbeda dari tradisi lain seperti semiotika dan etnometodologi dalam menekankan analisis terhadap kekuasaan yang tidak terpisahkan dari hubungan sosial. AWK sudah ditegaskan sebagai kelompok gagasan atau motif berfikir yang bisa dikenali dalam teks dan komunikasi verbal, dan juga bisa ditemukan dalam struktur sosial yang lebih luas. AWK menyediakan wawasan kedalam bentuk pengetahuan dalam konteks yang spesifik. Selain itu, AWK menghasilkan klaim interpretif dengan memandang pada efek kekuasaan dari wacana dalam kelompok-kelompok orang, tanpa klaim yang dapat digeneralisasikan pada konteks lain. Dasar teoritis untuk AWK didasarkan pada beberapa perkembangan sejarah dalam filsafat, ilmu pengetahuan, dan teori sosial. Sebagai suatu pendekatan pada analisis yang sistematik dalam pembentukan pengetahuan (wacana), AWK mengambil bagian dibeberapa tradisi pemikiran barat. Tradisi ini banyak dipengaruhi perkembangan analisis Foucaultian. Pengaruh teoritis yang utama atas metode ini adalah teori sosial yang kritis, kontra-fondasionalisme, posmodernisme, dan feminisme.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Alex Sobur, “Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacanaa, Analisis Semiotik dan Analisis Framing”, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2009.

Eriyanto, “Analisis Wacanaa: Pengantar Analisis Teks Media”, Yogyakarta, LKiS, 2009.

Mohammad A.S. Hikam, “Bahasa dan Politik: Penghampiran Discursive Practice”, dalam Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim (ed), Bahasa dan kekuasaan: Politik Wacanaa di Panggung Orde Baru, Bandung, Mizan, 1996.

 


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *